Suasana tepi pagar rumah Zainab sepi,
Zainab sedang termenung memikirkan nasibnya yang dikahwin paksa. Zaman
itu di tanah melayu belum ada kereta, belum juga ada motosikal berkuasa
besar, apalagi kapal terbang yang memnuhi udara.
Perbincangan ibunya dengan belahan jiwanya, Hamid jelas kedengaran lalu memimbulkan satu kegusaran di hatinya.
Zainab
tahu, Hamid akan menemuinya disini, ya, di tepi pagar tempat mereka
bertemu dahulu. Satu pertemuan yang pagar menjadi hijabnya.
Hamid
datang perlahan, berjalan dengan hati yang rawan, masakan tidak! Zainab
itu pujaan hatinya, hati mana yang sanggup menyuruh kekasih hati
menikah dengan orang lain. Namun hormatnya kepada mak engku, ibu Zainab,
segala permintaan dituruti juga.
Sebelum sempat Hamid ,menyusun kata, Zainab bersuara, lirih dan sedih..
" Sebetulnya ada yang mau aku bicarakan kepadamu mid, tapi belum bertemu waktu yang tepat"
Hamid lantas meneruskan hasratnya, dalam sopan dia mengatur kata, biarlah katanya hanya melukai dirinya bukan Zainab.
"Soal perjodohanmu dengan keponakkan ku, Rustam?"
"ya.." jawab Zainab. Sebak.
"Seperti baru saja ibuku sampaikan kepadamu" sambung Zainab lagi.
"jadi soal perjodohan itu.."
Hamid menjawab, tetapi tidak dapat meneruskan kata-katanya, sebak
menguasai relung dadanya. Ayat yang tersusun rapi tersekat di
kerongkong.
Zainab
memandang pagar tepi rumahnya dengan penuh sayu, segala memori bersama
Hamid seolah-olah diulang tayang sebagaimana dalam peti televisyen.
Hamid mengumpul kekuatan dan meneruskan bicaranya, " Zainab semua orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya"
Zainab
perlahan menjawab, matanya masih melekat di pagar itu, seolah-olah
matanya enggan memandang Hamid, menahan sayu di dada mungkin.
"
Mak dan kaum kerabat menginginkan aku menikah dengan keponakkan mamak
Rustam, supaya harta benda Almarhum lebih terjaga dengan baik. Padahal
bisa aku urus sendiri semua peninggalan Almarhum, ayah sudah mengajar
semuanya kepada aku." Pantas sahaja Zainab menerangkannya kepada Hamid.
"Lalu apa yang kau ingin lakukan ?" soal Hamid, lembut.
"Sampai
kapan pun aku tetap memegang doaku, Hamid. Doa yang pernah aku titipkan
kepadamu, menikah dengan lelaki yang aku cintai dan mencintai aku!. Apa
kau lupa itu Hamid." tegas Zainab.
"Aku selalu ingat Zainab.."
Jawab Hamid serba salah. Hamid teringat dia menyatakan impiannya untuk
melihat rumah Allah, lantas Zainab menitipkan doa itu kepadanya.
"Lalu kenapa kau meminta aku untuk berhenti percaya dengan doa itu Hamid?" sayu jawab Zainab sambil memerhatikan Hamid.
Hamid bergerak perlahan pergi mengadap Zainab yang laju berpaling darinya selepas usai mengungkapkan kata-katanya tadi.
"Aku
tidak pernah meminta kau berhenti percaya dengan doa itu Zainab, tapi
pada akhirnya bukan kita yang menentukan jalan hidup kita sendiri tetapi"
"ALLAH!" Balas Zainab sebelum Hamid habis berkata-kata.
"Allah yang menentukan jalan hidup kita Hamid, bukan manusia lain " lirih Zainab menjawab.
"Tidak
ada suatu musibah apapun di muka bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis di dalam Kitab (lohmahfuz) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
Kami jelaskan yang demikian itu supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu
bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak
menyukai orang sombong lagi membanggakan diri."
Sayu sahaja suara Hamid mengalunkan ayat-ayat Allah surah Al-Hadid ayat 22 dan 23 pada malam itu.
No comments:
Post a Comment